Ikuti kami

KAMPUNG ANGKE



Asal mula nama Angke dari bahasa Cina yaitu dari kata ‘Ang’ yang artinya darah dan ‘Ke’ artinya bangkai. Kampung ini dinamakan demikian karena dahulu pada tahun 1740 ketika terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Batavia, beribu-ribu orang Cina mati dibunuh oleh Belanda. Mayatnya bergelimpangan dimana-mana diantaranya banyak yang hanyut di kali Angke. Sehingga tempat tersebut oleh penduduk diganti namanya menjadi Kampung Angke, sebelumnya kampung tersebut namanya Kampung Bebek, karena sebagian besar penduduknya beternak bebek. Mungkin karena letak Kampung Angke ini sangat strategis, maka selalu menjadi daya tarik kaum pendatang.
Dahulu Kampung Angke dijadikan tempat persinggahan para pedagang dan tempat persembunyian orang-orang Cina pelarian pada peristiwa tahun 1740. Selain Kampung Angke juga dijadikan tempat pemukiman orang-orang Bali perantauan dan budak belian. Kemudian secara besar-besaran dating orang-orang Cina dan Sunda yang berasal dari daerah Garut. Orang-orang Sunda ini dating ke Kampung Angke sebagai pengungsi, karena daerahnya diserang oleh gerombolan Daarul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII). Sedangkan orang-orang Cina karena ada hubungannya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 yang melarang orang-orang Cina berdomisili di luar kota, maka banyak orang-orang Cina yang membeli rumah penduduk asli di Angke. Sehingga orang-orang Cina merupakan penduduk yang paling dominan di Kampung Angke hingga kini.

Pada masa Pemerintahan Belanda, Kampung Angke masuk Wijk Angke Duri dan Onderdistrik Penjaringan, Distrik Batavia. Kemudian Kampung Angke se elum berstatus kelurahan, masuk wilayah Kelurahan Angke Duri, Kecamatan Krukut. Pada waktu itu Angke statusnya merupakan satu kemandoran yang dikepalai seorang sarean dan berlangsung sampai tahun 1966. Masa Gubernur Ali Sadikin pada 1 April 1968 kelurahan Angke Duri kemudian dipecah menjadi 10 kelurahan, yaitu :

- Kelurahan Jembatan Lima;

- Kelurahan Jembatan Besi;

- Kelurahan Kali Baru;

- Kelurahan Duri;

- Kelurahan Tambora;

- Kelurahan Malaka;

- Kelurahan Pekojan;

- Kelurahan Kerendang;

- Kelurahan Tanah Sareal;

- Kelurahan Angke.

Pada tahun 1967/1968, Kampung Angke menjadi Kelurahan Angke masuk wilayah Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.

Peninggalan sejarah yang masih ada di Kelurahan Angke yaitu Mesjid Al-Anwar atau dikenal dengan sebutan Mesjid Angke. Pembangunan mesjid tersebut tidak begitu jelas; ada yang menyebutkan tahun 1714, 1744, dan 1747. Luas bangunanya berukuran 15m x 15m; atapnya berbentuk meru (bertingkat/bersusun dua); pintunya lebar dan tinggi; diatasnya dihiasi dengan hiasan ukiran gaya Eropa; jendelanya dihiasi dengan kisi-kisi yang berukir gaya Jawa Tengah; dan bangunannya seperti kelenteng Cina. Mungkin Mesjid Angke ini dibuat oleh orang-orang Cina dan Jawa Tengah dengan mengkombinasikan gaya arsitektur Jawa, Cina, dan Belanda.

Mesjid Angke termasuk bangunan bersejarah yang dinyatakan dalam surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. Cb.11/12/72. Sehubungan dengan itu, pemerintah DKI Jakarta melalui Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta telah mengadakan pemugaran bangunan Mesjid Angke sejak tahun 1968. Di depan Mesjid Angke terdapat pula makam Sarif Hamid Al-Kadrie, putra sultan Pontianak yang wafat di Jakarta pada tanggal 10 Juli 1858 dan dimakamkan di komplek Mesjid Angke.

Sama halnya seperti penduduk lainnya yang berada di kota Jakarta, penduduk Angke turut pula ambil bagian dalam kancah perjuangan setelah diproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Indonesia disambut dengan gembira oleh rakyat Indonesia di seluruh tanah air, khususnya di wilayah Jakarta Barat. Barisan Seinendan menyambut gembira proklamasi kemerdekaan Indonesia. Merekapun segera melebur diri dalam satu badan perjuangan rakyat di Indonesia yang diberi nama Gerakan Angkatan Muda Indonesia (GAMI) di bawah pimpinan saudara Darna dan bermarkas di Kampung suteng, Jembatan Lima, Penjaringan.

Pada bulan Oktober 1945 tentara sekutu mendarat di Jakarta yang turut pula membonceng di dalamnya tentara NICA Belanda. Bersamaan dengan itu GAMI mengubah nama menjadi GAMR (Gerakan Muda Rakyat) dengan bermarkas di dua tempat, yaitu di Kampung Suteng sebagai markas pertama dan di Gang TTS rumah bidan Rohana sebagai markas kedua. Di markas Gang TTS ini sering diadakan rapat pertemuan antara para pejuang yang datang dari Jembatan Lima, Balok Kramat, Kerukut, Duri, dan lain-lain dalam rangka mengatur strategi penyerangan terhadap musuh.

GAMR selanjutnya mengadakan kerjasama dengan pejuang-pejuang Banten yang minta bantuan kepada GAMR. Gabungan pasukan GAMR dan pasukan Banten mendirikan pos markas di Parung Panjang dan merencanakan serangan terhadap pos markas Belanda NICA di Kebayoran Lama pada pertengahan Oktober 1945. Dalam penyerangan ini 1 orang gugur dan 3 orang rakyat ikut menjadi korban.

Setelah itu perjuangan rakyat ini merencanakan untuk membumihanguskan markas Belanda/NICA di Kebayoran Lama, tetapi gagal, karena rencana telah tercium lebih dahulu. Kemudian dengan bersenjatakan dua buah senapan mesin, beberapa buah senapan Jepang, beberapa pucuk pistol, dan granat, pasukan gabungan GAMR dan Banten mengundurkan diri ke Serpong, Parung Panjang, dan ada pula yang ke Tangerang.

Sekembalinya Darma dengan pasukannya ke daerah Jakarta Barat, rakyat di daerah Suteng, Jembatan Lima atau Angke sedang terlibat dalam aksi menghadang pasukan sekutu dan Belanda/NICA yang sedang mengadakan patroli ke kampung-kampung dengan sebutan aksi ""siap-siap"". Mereka banyak berhasil membunuh dan merebut senjata musuh. Waktu itu Mesjid Angke dijadikan basis tempat mengadakan perundingan mengatur siasat para pemuda Angke dalam usahanya mengadakan aksi penghadangan terhadap patroli musuh yang masuk ke kampung-kampung. Para pemuda pejuang Angke tidak berhasil melakukan pembantaian terhadap orang-orang Gurka sebagai tentara Inggris di Kampung Angke.

Sebelum Kampung Angke dijadikan tempat pemukiman, dahulu matapencaharian penduduk adalah bertani, beternak bebek dan ikan, karena daerahnya berupa rawa dan sawah. Tetapi setelah lahan pertanian tidak ada lagi, maka mereka mencari nafkah di bidang lain. Namun demikian pemerintah setempat telah berusaha mengadakan percobaan peternakan ikan. Kolam percobaan ini berukuran 4m x 4m yang terletak di sebelah timur kantor kelurahan. Percobaan peternakan ikan inipun baru dimulai pelepasan bibit ikan pada tanggal 14 Januari 1984 dengan sistem UPGK. Meskipun tempat-tempat beribadah masing-masing umat beragama telah tersedia, namun ini tidak berarti bahwa kegiatan agama hanya terpusat di tempat-tempat ibadah, seperti mesjid dan gereja saja. Karena banyak kegiatan keagamaan yang tidak diselenggarakan ditempat-tempat ibadah saja, seperti kegiatan majlis taklim, pengajian di setiap RW, ceramah-ceramah agama, dan lain sebagainya,bahkan para pemeluk agama Budhapun mempunyai tempat pembinaan khusus yaitu di RW 09 dibawah Yayasan Budidarma.

Upacara perkawinan di Kampung Angke pada masa-masa lalu sama seperti orang-orang Betawi lainnya yang berada di wilayah Jakarta. Menjelang upacara nikah (ijab kabul), pengantin laki-laki terlebih dahulu diarak keliling kampung dengan membawa barang-barang seserahan yang akan diberikan kepada mempelai wanita berupa makanan, pakaian, maupun perhiasan, serta berbagai macam alat-alat rumah tangga.

engenai pakaian yang dikenakan oleh pengantin pria dan wanita umurnnya memakai pakaian adat Betawi (Jakarta) yaitu jubah dan sorban untuk pria serta cadar bagi wanitanya. Setibanya dirumah pengantin wanita, sebelum masuk pekarangan rumah terlebih dahulu diadakan upacara saweran oleh orang tua yang biasa melakukannya. Kedua mempelai diberi bermacam-macam petunjuk dan petuah dalam memupuk hidup baru. Penyampaiannya dilakukan dengan cara bernyanyi (berpantun) serta diselingi saweran beras kuning dengan uang logam (recehan).

Setelah selesai upacara saweran dilanjutkan dengan upacara ijab kabul yang dipimpin oleh penghulu dan disaksikan oleh orang tua kedua belah pihak serta handai taulan. Sesudah itu kedua mempelai didudukkan pada kursi yang telah dipersiapkan sebelumnya. Mempelai mendapat ucapan selamat dari para kerabat dan handai taulan serta para undangan lainnya, kemudian mereka dipersilakan makan hidangan kue yang telah disediakan.

Ketika bayi lahir, juga diadakan selamatan syukuran sebagai upaya terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan tidak lupa dihidangkan makanan ala kadarnya. Sebelum itu terlebih dahulu diadakan upacara mengubur ari-ari bayi. Pada waktu dahulu tali ari-ari bayi biasanya dihanyutkan di kali, tetapi sekarang sudah tidak mungkin lagi dilakukan. Oleh sebab itu ari-ari bayi tersebut dikubur dengan ketentuan bila bayinya laki-laki harus dikubur di sebelah kanan pintu, sedangkan bila bayinya perempuan harus dikubur di sebelah kiri pintu.

Menginjak usia 40 hari, dilakukan pula upacara selamatan bagi si bayi yang disebut upacara cukuran dan pemberian nama. Sebagaimana halnya pada upacara tujuh bulan, selamatan pada saat empat puluh hari diawali dengan pengajian ibu-ibu. Setelah selesai pengajian bayi tersebut digendong orang tuanya untuk digunting rambutnya, mulai dari kakek dan nenek, orang tua si bayi, dan saudara-saudaranya. sebelum dipotong rambut si bayi terlebih dahulu rambutnya diolesi dengan air kelapa.

Upacara menginjak tanah diadakan apabila bayi telah berusia tujuh bulan dan upacara tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama bayi dibawa jalan untuk menginjak 7 piring bubur merah putih, kemudian menaiki tangga 7 anak tangga yang terbuat dari tebu. setelah itu anak dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang mana di situ telah disediakan aneka macam barang, mulai dari perhiasan, uang dan minuman. Si bayi akan mengambil salah satu macam, diantaranya harapan orang tua kelak ia akan menjadi orang yang ahli seperti apa yang ia genggam dari dalam kurungan ayam tersebut. Akhirnya bayi tersebut oleh kakek atau neneknya diajak menginjak tanah tanpa alas kaki di pekarangan rumah mereka.

Masa untuk disunat (dikhitan) bagi anak laki-laki usianya tidak ditentukan, yang penting tergantung si anak telah siap mentalnya untuk disunat. sedangkan untuk anak wanita biasanya begitu lahir segera disunat sambil cukuran. Untuk upacara sunatan bagi anak laki-laki biasanya diadakan pesta dengan menanggap hiburan, baik pemutaran film, lenong, gambang kromong, orkes, dan lain-lain. Satu hari sebelum disunat tersebut dahulu pengantin sunat diarak keliling kampung naik kuda atau delman diiringi dengan tabuhan, Hal ini berlaku pada masa dahulu, tetapi sekarang mengarak pengantin sudah tidak dilakukan lagi.

Lenong, gambang kromong, orkes gambus merupakan hiburan yang paling disukai oleh masyarakat Angke. Kalau ada hajatan, mereka sering mendapat panggilan. Tetapi sekarang kumpulan kesenian tersebut sudah jarang dijumpai, karena mereka sudah banyak yang pindah. Maka sebagai penggantinya yaitu menanggap hiburan film layar tancap atau orkes dangdut.

Referensi : Kampung Tua di Jakarta, Dinas Museum dan Sejarah, 1993.
Sumber : Diskominfomasi

Total Tayangan